♥♥♥♥♥ Condong mato ka nan rancak condong salero ka nan lamak rancak di awak katuju di urang ♥♥♥♥♥

14/08/09

Matrilineal...

Tiap suku minang biasanya terdiri dari beberapa paruik dan dikepalai oleh kapalo paruik atau tungganai. Paruik dapat dibagi lagi ke dalam jurai dan jurai terbagi pula ke dalam samande (artinya "satu ibu"). Cara pembagian suku di Minangkabau seperti demikian bisa berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Jurai adalah istilah yang kabur yang mungkin menunjukkan persamaan consanguinealitas saja atau pertalian kelompok di bawah atau di atas tingkatan paruik. Samande, sebaliknya, sukar dipandang sebagai unit yang berdiri sendiri oleh karena dua atau tiga samande bisa sama mendiami rumah yang satu dan sama memiliki harta benda tidak bergerak lainnya; sedangkan segala hal-ihwal yang penting dalam lingkaran hidup (life cycle) tidak dapat diselesaikan oleh anggota-anggota dari samande yang sama (yang biasanya berpusat sekeliling seorang nenek) saja, tetapi harus disampaikan kepada paruik.



Anggota dari paruik yang sama biasanya memiliki harta bersama (harato pusako), seperti tanah bersama, termasuk sawah-ladang, rumah gadang dan pandam pekuburan bersama. Oleh karena 'paruik' berkembang, ia mungkin memecah diri menjadi dua paruik atau lebih, sekalipun masih dalam suku yang satu. Dan dengan berkembangnya suku ia mungkin pula terbagi ke dalam dua atau lebih suku baru yang bertalian.

Dalam sistem keturunan matrilineal/matriahat di Minangkabau ini, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia disebut samando atau urang samando. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya di mana dia berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis-keturunan itu. Secara tradisi, setidak-tidaknya, tanggung jawabnya berada di situ. Dia adalah wali dari garis-keturunannya dan pelindung atas harta benda garis keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya. Tidak pula dia diberi tempat di rumah orangtuanya (garis ibu/matrilineal) oleb karena semua bilik hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga yang perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari. Posisi kaum laki-laki yang goyah ini yang memotivasi lelaki Minang untuk merantau.

Orang laki-laki biasanya mencari nafkah dengan cara pergi ke pasar menjadi pedagang, atau bekerja sebagai tukang kayu, tukang bajak di sawah, penjahit, pemilik kedai, pegawai kantor, dan sebagainya. Dia bekerja di sawah ladang milik garis-keturunannya atau milik garis-keturunan isterinya hanyalah sambil lalu, jika tidak ada yang lain yang akan dikerjakannya.

Kalau dia memutuskan hendak mengolah tanah dari garis keturunan ibunya untuk mendapatkan sebagian hasilnya, dia biasanya berbuat begitu sebagai seorang penyedua (pekerja bagi hasil), di mana dia menerima hanya sebagian dari hasil, sedangkan bagian yang lain diperuntukkan kepada anggota garis-keturunan wanita yang sebenarnya menjadi pemilik dari tanah tersebut.

0 comments:

Posting Komentar